Sejak zaman pra kemerdekaan hingga masa kini,
bangsa Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan budayanya.
Khususnya, memiliki keragaman budaya yang setiap suku daerahnya memiliki
keunikan, yang tidak dimiliki oleh negara manapun di dunia. Seni
pertunjukan Indonesia sangat istimewa, dan luar biasa, serta merupakan
sosok seni pertunjukan yang sangat lentur dan „cair‟ sifatnya. Hal
tersebut karena lingkungan masyarakatnya yang selalu berada dalam
kondisi yang terus berubah-ubah. Pada kurun waktu tertentu, ada yang
mapan dan mengembangkan suatu sosok yang tumbuh sebagai suatu „tradisi‟,
sebagai upaya dan penerimaan masyarakat kepada suatu „hasil budaya‟
yang dialihteruskan selama ber-generasi. Begitu pula daerah Jawa Barat,
berbagai karya seni tumbuh dan berkembang, difungsikan dari generasi ke
generasi yang kemudian mempunyai ciri-ciri yang mapan, masing-masing
daerah mempunyai ciri khas yang mencerminkan asal daerahnya, bahkan
membentuk genre-genre, kemudian menjadi tradisi masyarakat setempat.
Seni pertunjukan dan kehidupan berkesenian pada umumnya merupakan salah satu perilaku budaya manusia, baik secara individu maupun
sebagai sebuah kelompok masyarakat. Maka setiap bentuk seni/ kesenian
memiliki fungsinya masing-masing dalam kehidupan masyarakat. Serta
setiap zaman, setiap etnis, setiap lingkungan masyarakat, serta setiap
bentuk seni pertunjukan memiliki fungsi primer dan sekunder yang berbeda
(R.M. Soedarsono, 2001: 170).
Fungsi primer yaitu:, (1) sebagai
sarana upacara; (2) sebagai ungkapan pribadi; dan (3) sebagai presentasi
estetis. Sedangkan fungsi sekunder apabila seni pertunjukan bertujuan
bukan untuk dinikmati, tetapi untuk kepentingan yang lain. Ini berarti
fungsi pertunjukan menjadi multifungsi, tergantung dari perkembangan
masyarakat pendukungnya. Multifungsi itu antara lain; sebagai pengikat
kebersamaan, media komunikasi, interaksi, ajang gengsi, bisnis, dan mata
pencaharian. Dengan kata lain bahwa tiap tarian bisa mempunyai beberapa
fungsi, yang menentukan fungsi primer dan fungsi sekundernya. Artinya
fungsi belum tentu abadi dari waktu ke waktu (Anya Peterson Royce, 1980:
85).
a. Fungsi Primer
(1) Seni Pertunjukan sebagai Sarana Ritual.
Beberapa daerah di Jawa Barat masih menyelenggarakan seni pertunjukan
yang ada kaitannya dengan upacara ritual, khususnya yang berkaitan
dengan padi, yang dilaksanakan menurut kebiasaan secara tetap, menurut
waktu tertentu, serta untuk keperluan tertentu. Antara lain, Tarawangsa
di Sumedang, Ngarot di Indramayu, dan Seren Taun di Sukabumi.
Pertunjukan tersebut merupakan ritual untuk persembahan demi kesuburan
pertanian. Penyajian tarian pada upacara padi, diyakini memiliki
kekuatan magi–simpatetis dan berpengaruh terhadap upacara persembahan
itu.
(2) Seni sebagai Sarana Hiburan. Tidak jelas kapan terjadinya pergeseran dari ronggéng yang berperan sebagai "media visualisasi komunikasi‟
pada upacara ritual, menjadi pertunjukan tontonan, bahkan sekedar
penyemarak hiburan kalangenan. Seni hiburan Ronggéng yang berkembang
pada saat itu dinamakan Dogér dengan iringan gamelan Ketuk Tilu, yang
pada waktu itu Dogér diartikan „ngadog-dogan anu beger’. Oleh karena
setiap pementasan selalu berpindah-pindah tempat serta menghibur para
„buruh atau kuli kontrak‟, maka pertunjukan ini kemudian dikenal dengan
sebutan „Dogér Kontrak.’1 Para kuli kontrak pada waktu itu sangat
menyukai seni hiburan ini, sehingga setiap kali pertunjukannya selalu
saja dipenuhi oleh penonton. Ronggeng ada di mana-mana hingga ke
pelosok-pelosok daerah di setiap pertunjukan hiburan menyemarakkan
suasana kalangenan para penari laki-laki yang haus hiburan. Di antaranya
pada pertunjukan Dongbret daerah pantai utara Pamanukan Subang,
Belentuk Ngapung , Telebuk Ngapung, daerah Subang dan Karawang dan
Purwakarta, Doger Kontrak, dan Ronggeng pangarak daerah Subang, Cokek di
daerah Tanggerang dan Betawi, Ronggeng Ketuk di daerah Indramayu,
Ronggeng Gunung di daerah Ciamis, Bangreng di daerah Sumedang, dan
Banjet di daerah Depok dan Betawi.
(3) Seni Pertunjukan untuk Sarana
Sajian Estetis. Pengaruh kontak budaya antara Priangan dengan Mataram
Islam sejak 1595-1678, masih membekas pada perkembangan kesenian dan
lingkungan kebudayaan di kalangan ménak Priangan hingga pertengahan abad
ke- 20. (Tahun 1595 Kerajaan Galuh ditaklukkan oleh Mataram,
selanjutnya Mataram membagi-bagi wilayah Priangan (Westerlanden) menjadi
kabupaten-kabupaten yang masing-masing dikepalai oleh seorang bupati,
periksa (Herlina, et al., 2003: 285-286). Sejak kerajaan Sunda lenyap,
di Priangan tidak ada lagi kerajaan yang dapat dijadikan panutan budaya.
Di beberapa kabupaten diperkembangkan berbagai jenis kesenian
yang agaknya ditiru dari Mataram oleh para dalem atau keluarganya yang
setahun sekali pergi ke Mataram untuk caos upeti (Ajip Rosidi dalam Edi
S. Ekadjati, 1984: 132).
Para bupati atau kaum ménak Priangan merasa
bangga mengacu gaya hidup Mataram, dari gelar, tempat tinggal, etiket,
busana, pusaka, berbagai upacara, dan kesenian (Tati Narawati, 2003:
146-155). Oleh karenanya di kabupaten-kabupaten, sering diadakan
pergelaran berupa tari-tarian yang dipertunjukan untuk para tamu pada
peristiwa-peristiwa penting.
Begitu pula di daerah Cirebon, khususnya
keraton Kasepuhan dan Kanoman tarian yang berkembang di Keraton
merupakan tarian yang disajikan untuk acara penting negara dengan nama
Bedaya Rimbe. Adapun di Kraton Kacirebonan, Sekar Keputren, perkembangan
dari Bedaya Rimbe. Bila mengamati perkembangan seni pertunjukan di Jawa
Barat, terutama pertunjukan tari-tarian yang digunakan sebagai sarana
pertunjukan atau sajian estetis, agaknya lebih berkembang di kalangan
ménak, sedangkan tari kalangenan atau hiburan lebih banyak berkembang di
kalangan rakyat atau cacah. Munculnya Tjetje Somantri yang merupakan
pembaru tari Sunda di Jawa Barat, di awal tahun 1950-an merupakan
sejarah baru bagi perkembangan tari Sunda, di mana karya-karyanya tidak
hanya dapat disajikan di kalangan ménak belaka, akan tetapi berkembang
hingga seluruh lapisan masyarakat.
b. Fungsi Sekunder
Apabila
fungsi primer dari seni pertunjukan, adalah seni pertunjukan berfungsi
untuk dinikmati, baik sebagai ritual, hiburan, atau tontonan, berbeda
dengan fungsi sekunder. Fungsi seni pertunjukan lebih kepada kepentingan
yang lain. Ini berarti fungsi pertunjukan menjadi multifungsi,
tergantung dari perkembangan masyarakat pendukungnya. Multifungsi itu antara
lain; sebagai pengikat kebersamaan, media komunikasi, interaksi, ajang
gengsi, bisnis, dan mata pencaharian, termasuk juga untuk kepentingan
pariwisata.
Dengan perkembangan kondisi seperti masa kini, seni tidak
bisa lagi hanya mementingkan ekspresi diri, dengan nilai-nilai yang
diframe sendiri, tetapi harus lebih luas lagi memikirkan kepentingan
orang banyak, termasuk juga promosi daerah yang kaitannya juga ekonomi,
baik bagi para pelaku seni, maupun bagi perkembangan seni itu sendiri.
Ini berarti seni harus bersinerji dengan aspek atau kegiatan lain,
termasuk kegiatan Pariwisata sebagai sektor ekonomi.
Kondisi ini
merupakan peluang yang sangat besar bagi seni pertunjukan etnik, atau
pertunjukan lokal. Seni pertunjukan tradisional menjadi berfungsi
sebagai ‟objek daya tarik wisata daerah‟ (ODTW), yang akan ditonton dan
dikenang karena kekhasan dan keunikan. Untuk Seni pertunjukan yang
menjadi Objek Daya Tarik Wisata Daerah (ODTW) sudah seyogyanya dapat
menampilkan seni sesuai dengan nilai dan keindahan yang terkandung pada
materi Seni itu sendiri. Sayangnya banyak seni pertunjukan daerah yang
hampir punah karena tidak difungsikan masyarakatnya, baik sebagai sarana
tontonan, maupun hiburan. Padahal seni merupakan modal sosial yang akan
mendukung ekonomi masyarakat bila diberdayakan dengan baik.
Seni tradisi dan model pembinaannya Seni
tradisi di Jawa Barat banyak mengalami perubahan, di antaranya ada yang
berubah fungsinya, bentuk, atau bahkan orientasi nilai budaya. Pada
kenyataannya, identitas bangsa yang dikenal dengan kebudayaan tersebut‟
tidak pernah lagi dihiraukan oleh masyarakat pendukungnya‟. Kebudayaan
selalu diartikan dengan „kata benda‟ yang mempunyai "nilai adiluhung
sebagai barang antik‟. Di sisi lain para pelaku budaya yang memproduksi
hasil kebudayaan mengeluh dan meratap tidak berdaya, karena tidak
„adanya ruang publik‟ untuk mengfungsikan atau mensosialisasikan produk
budayanya, bahkan dirinya sebagai insan kebudayaan (Endang Caturwati,
2007:9).
Di Jawa Barat misalnya. Tidak ada satupun investor yang
berani membuka Pusat Budaya sejenis Culture Center tempat berkumpulnya
para seniman lokal sebagai ajang kreativitas, dengan penataan panggung
yang representatif untuk suatu sajian pertunjukan serta dilengkapi
disain artistik tata panggung, tata suara, dan tata lampu yang super
canggih. Atau yang lebih kecil lagi, tempat untuk menyajikan berbagai
pertunjukan tradisional, yang mencerminkan kelokalan daerah Sunda Jawa
Barat.
Hal ini dianggap suatu hal yang muskil dan tidak menjajikan,
khususnya bagi kepentingan bisnis. Begitu pula hotel atau restoran.
Masih sangat langka, yang berani atau mau menyajikan seni pertunjukan
tradisional secara rutin di hotelnya, sebagaimana
pertunjukan-pertunjukan band, organ tunggal. Bahkan Konser-konser Musik,
dengan artis-artis yang dibayar mahal. Ironis memang, untuk sebuah
konser musik, penonton berani membeli karcis dengan harga 500 ribu,
bahkan para pejabat hanya untuk kepentingan „prestise‟ membeli karcis
dengan harga 2 juta rupiah. Sementara untuk sebuah pertunjukan
tradisional, jangankan membeli, diundang secara gratispun tidak mau
hadir (Caturwati: 20).
Bagaimanapun sangat patut dihargai adanya
upaya beberapa Lembaga Perguruan Tinggi, antara lain seperti kelompok
mahasiswa UPI, ITB, UNPAD, dan berbagai perguruan tinggi lainnya di Jawa
Barat yang secara tidak langsung telah membantu peran pemerintah dalam
melestarikan dan mengembangkan seni budaya, melaui „himpunan atau grup
seni budaya‟ para mahasiswa dengan kegiatan, pelatihan, pergelaran, dan
berbagai festival seni budaya. Selain itu di Jawa Barat,
misalnya terdapat pula beberapa aktivitas masyarakat dan para seniman,
berupa kegiatan yang dinamakan Panglawungan: Tembang Cianjuran, serta
Pangguyuban: Kakawihan, dari kita untuk kita. Selain sebagai ajang
silahturahmi, serta ajang adu nyali di mana masing-masing personal
melantunkan lagu-lagu tradisional, dalam „ajang‟ ini, sekaligus juga
merupakan upaya melestarikan seni tradisi.
Beberapa hotel, daerah
wisata, serta tempat pertunjukan pribadi, antara lain misalnya, di
Bandung, di daerah Padasuka, yang dahulu merupakan perkampungan yang
susah dijangkau oleh kendaraan umum, terdapat tempat pertunjukan yang
dibangun atas inisiatif seorang seniman yang sangat mencintai seni
budaya Sunda, Ujo Ngalanggena (alm) yang dikenal dengan nama „Saung
Ujo‟. Di saung tersebut terdapat aktivitas kamonesan anak-anak dalam
permainan angklung dan beberapa pertunjukan tradisional. Kemudian di
Desa Wisata Sari Bunihayu Subang, walaupun tidak setiap saat, sering
menampilkan seni pertunjukan daerah yang disajikan oleh anak-anak
Sekolah dasar, seperti Gotong Singa, dan Gondang. Beberapa waktu silam
terdapat Rumah Nusantara di daerah Geger Kalong yang diprakarsai seorang
pejabat yang interes terhadap seni budaya lokal. Berbagai kegiatan seni
dan budaya antar daerah digelar, merupakan ajang silahturami,
komunikasi dan interaksi yang manis, merupakan upaya adanya trash budaya.
3. Pengkemasan Seni Pertunjukan dalam Industri Pariwisata Pengkemasan
seni pertunjukan atas pertimbangan industri pariwisata harus
disesuaikan dengan kondisi dan keberadaan para turis dan wisatawan yang
datang. Parawisatawan biasanya memiliki waktu yang terbatas untuk
menonton seni pertunjukan, oleh sebab itu pengemasan dan perkembangan
seni pertunjukan pun akan selalu mengikuti perkembangan dan dinamika
masyarakat pendukungnya. Ada enam ciri utama seni pertunjukan kemasa. untuk
industri pariwisata yang dikemukakan oleh R.M. Seodarsono yakni (1)
tiruan dari bentuk aslinya, (2) pemadatan dari bentuk aslinya, (3) penuh
dengan variasi, (4) sudah dihilangkan dari unsur ritualnya, (5) murah
harganya untuk turis dan wisatawan, (6) mudah dicerna oleh wisatawan
asing.
Dengan enam ciri seni pertunjukan tersebut, dibuat model-model
tari dengan durasi waktu yang singkat dan padat hal ini disesuaikan
untuk menghadapi tantangan dan permintaan industri pariwisata, tanpa
harus mengurangi makna seni pertunjukan yang sesungguhnya. Diharapkan
dapat menjelaskan kebimbangan beberapa pihak yang masih menyangsikan/
meragukan keberadaan seni industri parawisata yang dianggap merusak seni
tradisional yang telah ada. Hal ini mungkin dapat dibenarkan apabila
penerapannya tidak mengetahui konsep seni dalam industri pariwisata yang
sebenarnya.
Salah satu langkah untuk menampilkan seni pertunjukan
tradisional dalam bentuk tiruan, juga merupakan upaya preventif untuk
menjaga orisinalitas seni tradisioanal yang asli. Upaya ini perlu
diketahui dan dipahami oleh para konservasi seni
pertunjukan/tradisional, sebab bentuk aslinya akan tetap terpelihara,
karena yang akan dikembangkan dalam seni pariwisata, adalah tiruannya
atau kesamaannya, sehingga hadirnya seni dalam pengembangan wisata ini
tidak akan mengganggu keberadaan seni tradisional yang telah mengakar
dalam masyarakat.
Para wisatawan dalam melakukan perjalanan ke suatu
destinasi biasanya memiliki waktu yang terbatas, sementara wisatawan
ingin mendapatkan informasi dan pengetahuan yang sangat banyak dan
beragam. Seandainya seni pertunjukan tradisional dipergelarkan sesuai
dengan makna yang sesungguhnya, maka turis tidak akan dapat menikmati
seni pertunjukan tersebut, karena harus dilakukan pada waktu tertentu
dan durasi tertentu. Padahal para wisatawan merupakan
sekelompok masyarakat yang mewakili daerah, bangsa, atau negara lain;
dan merekalah yang akan mempromosikan dan memperkenalkan daerah yang
dikunjunginya pada kelompok yang lain.
Seandainya seni pertunjukan
tradisional tidak dikemas dan dibuat tiruannya dengan bentuk dan durasi
yang lebih singkat dan menarik, dikhawatirkan seni pertunjukan
tradisional hanya akan dikenal dan ditekuni oleh komunitas masyarakat
tertentu saja. Berdasarkan beberapa fakta di lapangan seni pertunjukan
tradisional di Jawa Barat, khususnya dan di Indonesia pada umumnya tidak
dapat bekembang malah cenderung menghilang dan tidak digemari dan
ditekuni oleh generasi mudanya. Inilah pentingnya pengemasan seni
pertunjukan dalam industri pariwisata.
Hasil kemasan tersebut akan
disajikan untuk masyarakat lain yang ada di luar komunitas masyarakat
seni promosi, sebagai sampel promosi, bahwa seni pertunjukan yang
sesungguhnya dapat dilihat di tempat sumber asalnya. Dengan demikian
akan tetap terpelihara dan digeluti masyarakatnya itu sendiri. Justru
dengan pengemasan (membuat tiruannya) untuk industri pariwisata akan
menjadi media dakwah dan promosi pada orang lain, seandainya disajikan
dalam bentuk yang menarik, akan menyebabkan orang lain tertarik untuk
menekuni dan mempelajari. Hal ini sesuai dengan filosofi pembentukan
seni pertunjukan pertama kali yang dikembangkan oleh masyarakat itu
sendiri, di antaranya sebagai media dakwah agama Islam pada masanya.
Berdasarkan
hasil pengemasan dari tiga seni tradisi yang dijadikan penelitian maka
untuk pengemasan Tari Sekar Keputren yang pada awalnya muncul di
lingkungan keraton Kacirebonan, termasuk ke dalam tari kelompok puteri,
dengan karakter lenyep (halus). Sumber geraknya diambil dari beberapa
tarian yang berkembang di keraton-keraton di daerah Cirebon, di
antaranya berasal dari gerak-gerak tari puteri, tari Golekan, Lenyepan,
dan Tayuban. Dengan cara menata pola lantai sesuai dengan kepentingan
seni pertunjukan, serta tata rias busana. Menata tari Sekar Keputrén
menjadi tarian penyambutan atau pertunjukan tontonan pada acara-acara
penting, yang disesuaikan dengan tempat, kondisi, dan keperluan.
Pengemasan Tari Umbul yang pada awalnya sebagai seni pertunjukan bentuk
helaran (ara-arakan) dilaksanakan di jalanan daerah Sumedang, saat ini
tari Umbul telah melalui proses perkembangan dan kini memiliki fungsi
tidak hanya disajikan pada acara pernikahan, khitanan, penyambutan para
tamu, festival, dan hiburan pada acara besar nasional, akan tetapi juga
kini menjadi tarian bersama pada akhir pertunjukan.
Dengan cara
mengembangkan koreografi, karawitan dan tata busana agar tarian tersebut
lebih dinamis variatif dan menarik. Pengemasan Tari Ronggéng Pangarak
sebagai bentuk kesenian yang diambil dari kesenian helaran/arak-arakan.
Ronggéng yaitu istilah dari penari perempuan, sedangkan pengarak adalah
penari yang mengiringi, mengikuti, atau mengusung kesenian helaran
sehingga suasana helaran menjadi ramai, kompak, serempak, dinamis dan
atraktif. Ronggéng Pangarak pada dasarnya mengacu pada gerak-gerak tari
Sisingaan, gerak Ronggéng Bangréng, gerak Bajidoran dan gerak mincid
Genjring Bonyok, yang dikemas menjadi satu kesatuan yang utuh dan
menarik, dengan cara mengemas durasi pertunjukannya dari 30 menit
menjadi 7 menit.
source:
No comments:
Post a Comment