Dr.(HC) Ir. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno
Sosrodihardjo) (lahir di Surabaya[1][2][3], Jawa Timur, 6 Juni 1901 –
meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden
Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945–1966.[4] Ia memainkan
peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda.[5] Soekarno adalah penggali Pancasila karena ia yang pertama
kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara Indonesia itu dan ia
sendiri yang menamainya Pancasila.[5] Ia adalah Proklamator Kemerdekaan
Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17
Agustus 1945.
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang
kontroversial, yang isinya—berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas
Besar Angkatan Darat—menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk
mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.[5]
Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang
duduk di parlemen.[5] Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun
1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden
pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan mengangkat Soeharto
sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.[5]
Nama
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Koesno Sosrodihardjo oleh
orangtuanya.[4] Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima
tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.[4][6] Nama tersebut
diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu
Karna.[4][6] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf
"a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[6]
Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno
diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut
menggunakan ejaan penjajah (Belanda)[rujukan?]. Ia tetap menggunakan
nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah
tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
yang tidak boleh diubah[rujukan?]. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah
Bung Karno.
Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed
Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung
ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil
Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat
di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki
nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed
di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia,
seperti wikipedia bahasa Denmark dan bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan
ibadah haji.[7] Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama
Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal
Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk
mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara
Arab.
Kehidupan
Masa kecil dan remaja
Rumah masa kecil Bung Karno
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai.[4] Keduanya bertemu
ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah
Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.[4] Nyoman Rai merupakan keturunan
bangsawan dari Bali dan beragama Hindu sedangkan Raden Soekemi sendiri
beragama Islam.[4] Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama
Sukarmini sebelum Soekarno lahir.[8] Ketika kecil Soekarno tinggal
bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.[4]
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke
Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.[4] Di
Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School,
sekolah tempat ia bekerja.[8] Kemudian pada Juni 1911 Soekarno
dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya
diterima di Hoogere Burger School (HBS).[4] Pada tahun 1915, Soekarno
telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS
di Surabaya, Jawa Timur.[4] Ia dapat diterima di HBS atas bantuan
seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.[4]
Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan
kediamannya.[4] Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para
pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu,
seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.[4]
Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo
yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo.[4] Nama organisasi
tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.[4]
Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia"
yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.[8]
Soekarno sewaktu menjadi siswa HBS Soerabaja
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool
te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik
sipil pada tahun 1921[9], setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah,
tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali[10] dan tamat pada tahun
1926.[11] Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei
1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia
diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya.[12] Prof. Jacob Clay
selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting
peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang
Jawa".[13] Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo[14], selain itu
ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus
Ondang.[15]
Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan
anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.[4] Di sana ia
berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr.
Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National
Indische Partij.
Sebagai arsitek
Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga dikenal sebagai
arsitek alumni dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di
Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun
1926.[16] [17] [18]
Pekerjaan dan Karya di Bidang Arsitektur
Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir.
Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama
Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan
lainnya.
Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid Jami' di tengah kota.[19]
Pengaruh Terhadap Karya Arsitektural Semasa Menjadi Presiden
Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang
dipengaruhi atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara
maraton dari bulan Mei sampai Juli pada tahun 1956 ke negara-negara
Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat, dan Swiss. Membuat
cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara
holistik dan menampilkannya sebagai negara yang baru merdeka[20].
Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait
beberapa kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu,
namun juga merencanakan sebuah kota sejak awal yang diharapkan sebagai
pusat pemerintahan di masa datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh
Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa arsitek
seperti Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek
junior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat
melalui sayembara[21]
Masjid Istiqlal 1951
Monumen Nasional 1960
Gedung Conefo [21]
Gedung Sarinah [21]
Wisma Nusantara [21]
Hotel Indonesia 1962[22]
Tugu Selamat Datang[22]
Monumen Pembebasan Irian Barat[22]
Patung Dirgantara[22]
Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan
sebagai seorang arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide
arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk
melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah
Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil Haram secara
besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi
umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat
untuk melakukan tawaf [18]
Rancangan skema Tata Ruang Kota Palangkaraya yang diresmikan pada tahun 1957 [18]
Kiprah politik
Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung
yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr.
Soetomo.[4] Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia
yang didirikan pada tahun 1927.[11] Aktivitas Soekarno di PNI
menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929 dan dipenjara
di Penjara Banceuy, pada tahun 1930 dipindahkan ke Sukamiskin dan
memunculkan pledoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat (pledoi),
hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia
(Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap
pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno
hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap
membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru
Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang
Berkas:Famsukarno fatma.jpg
Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat
tidak memerhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk
"mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A
dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memerhatikan dan
sekaligus memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad
Hatta, dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga
lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai
organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI
dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H.
Mas Mansyur, dan lain-lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif.
Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerja sama dengan pemerintah
pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula
yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir
Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan
teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita
bekerja sama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta
mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya
adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945, dan dasar dasar pemerintahan
Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat
dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh
Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke
Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar
memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia
tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan
Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu
dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia
diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia
Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi
kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang
membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang, antara
lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi
Ruang tamu rumah persembunyian Bung Karno di Rengasdengklok.
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, Panitia Kecil
yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari
sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah
Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan
Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama
pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang
membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para
pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman
kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan
Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan
alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang
berkembang adalah Soekarno menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan
Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu
bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini
merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi
Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan
Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi
presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP. Pada tanggal 19
September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan
darah peristiwa Lapangan Ikada tempat 200.000 rakyat Jakarta akan
bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir
Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia
secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun
akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng
Sekutu (di bawah Inggris), meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya dan gugurnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno
akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke
Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden
selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single
executive). Selama revolusi kemerdekaan, sistem pemerintahan berubah
menjadi semipresidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai
Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala
Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No
X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik.
Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih
demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan,
kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam
menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II
yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan
sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin
Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi
dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin
Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan
sengketa Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan
Soekarno dan Josip Broz Tito
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai
Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai
perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan
kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun
karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke
negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah
menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI.
Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali
kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah
presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah
dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat di kalangan
rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri.
Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung"
membuat Presiden Soekarno kurang memercayai sistem multipartai, bahkan
menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut
turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga
berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952
dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Soekarno dan John F. Kennedy
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia
Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih
belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri,
menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif
untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan
Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan
konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang
dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan
kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban,
ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam penyelesaian konflik
juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito
(Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah
(Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan
Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya
itu, banyak negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun
sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan
sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih
dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak
penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila
ingat atau mengenal akan Indonesia.[rujukan?]
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia
internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu
dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev
(Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro
(Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Kejatuhan
Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam jenderal
dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September
atau G30S pada 1965.[23][11] Pelaku sesungguhnya dari peristiwa
tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di
dalamnya.[11] Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi
demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah
satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.[23] Namun, Soekarno menolak
untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom
(Nasionalisme, Agama, Komunisme).[5][23] Sikap Soekarno yang menolak
membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik.[11][5]
Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret yang
ditandatangani oleh Soekarno.[23] Isi dari surat tersebut merupakan
perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang
perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi
presiden.[23] Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah
diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan
menyatakannya sebagai organisasi terlarang.[23] Kemudian MPRS pun
mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan
Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan
kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi
presiden apabila presiden berhalangan.[24]
Soekarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya
terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS.[23] Pidato
tersebut berjudul "Nawaksara" dan dibacakan pada 22 Juni 1966.[5] MPRS
kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.[23] Pidato
"Pelengkap Nawaskara" pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967
namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama.[23]
Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat
Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.[24] Dengan
ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto de facto menjadi kepala
pemerintahan Indonesia.[24] Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS
pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar
Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga
diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.[24]
Sakit hingga meninggal
Makam Presiden Soekarno di Blitar, Jawa Timur.
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.[24]
Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah
menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.[24] Prof. Dr.
K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar
ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional.[24] Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum
akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai
tahanan politik.[24][4] Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke
Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi.[24] Sebelum dinyatakan
wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter
Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan.[24] Tidak
lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh
Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr.
(TNI AD) Rubiono Kertopati.[24]
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:[24]
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir.
Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan
tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu
Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar,
Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno.[24] Hal tersebut
ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.[24] Jenazah Soekarno
dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan
harinya bersebelahan dengan makam ibunya.[24] Upacara pemakaman Soekarno
dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur
upacara.[24] Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh
hari.[24]
Peninggalan
Dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Soekarno pada 6 Juni 2001,
maka Kantor Filateli Jakarta menerbitkan prangko "100 Tahun Bung
Karno".[8] Prangko yang diterbitkan merupakan empat buah prangko
berlatar belakang bendera Merah Putih serta menampilkan gambar diri
Soekarno dari muda hingga ketika menjadi Presiden Republik Indonesia.[8]
Prangko pertama memiliki nilai nominal Rp500 dan menampilkan potret
Soekarno pada saat sekolah menengah. Yang kedua bernilai Rp800 dan
gambar Soekarno ketika masih di perguruan tinggi tahun 1920-an
terpampang di atasnya. Sementara itu, prangko yang ketiga memiliki
nominal Rp900 serta menunjukkan foto Soekarno saat proklamasi
kemerdekaan RI. Prangko yang terakhir memiliki gambar Soekarno ketika
menjadi Presiden dan bernominal Rp1000. Keempat prangko tersebut
dirancang oleh Heri Purnomo dan dicetak sebanyak 2,5 juta set oleh Perum
Peruri.[8] Selain prangko, Divisi Filateli PT Pos Indonesia menerbitkan
juga lima macam kemasan prangko, album koleksi prangko, empat jenis
kartu pos, dua macam poster Bung Karno serta tiga desain kaus Bung
Karno.[8]
Prangko yang menampilkan Soekarno juga diterbitkan oleh Pemerintah Kuba
pada tanggal 19 Juni 2008. Prangko tersebut menampilkan gambar Soekarno
dan presiden Kuba Fidel Castro.[25] Penerbitan itu bersamaan dengan
ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan kunjungan Presiden
Indonesia, Soekarno, ke Kuba.
Gelanggang Olahraga Bung Karno pada 1962.
Nama Soekarno pernah diabadikan sebagai nama sebuah gelanggang olahraga
pada tahun 1958. Bangunan tersebut, yaitu Gelanggang Olahraga Bung
Karno, didirikan sebagai sarana keperluan penyelenggaraan Asian Games IV
tahun 1962 di Jakarta. Pada masa Orde Baru, kompleks olahraga ini
diubah namanya menjadi Gelora Senayan. Tapi sesuai keputusan Presiden
Abdurrahman Wahid, Gelora Senayan kembali pada nama awalnya yaitu
Gelanggang Olahraga Bung Karno. Hal ini dilakukan dalam rangka mengenang
jasa Bung Karno.[26]
Setelah kematiannya, beberapa yayasan dibuat atas nama Soekarno. Dua di
antaranya adalah Yayasan Pendidikan Soekarno dan Yayasan Bung Karno.
Yayasan Pendidikan Soekarno adalah organisasi yang mencetuskan ide untuk
membangun universitas dengan pemahaman yang diajarkan Bung Karno.
Yayasan ini dipimpin oleh Rachmawati Soekarnoputri, anak ke tiga
Soekarno dan Fatmawati. Pada tahun 25 Juni 1999 Presiden Bacharuddin
Jusuf Habibie meresmikan Universitas Bung Karno yang secara resmi
meneruskan pemikiran Bung Karno, Nation and Character Building kepada
mahasiswa-mahasiswanya.[27]
Sementara itu, Yayasan Bung Karno memiliki tujuan untuk mengumpulkan dan
melestarikan benda-benda seni maupun nonseni kepunyaan Soekarno yang
tersebar di berbagai daerah di Indonesia.[28] Yayasan tersebut didirikan
pada tanggal 1 Juni 1978 oleh delapan putra-putri Soekarno yaitu Guntur
Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri,
Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra, Bayu
Soekarnoputra, dan Kartika Sari Dewi Soekarno.[28] Pada tahun 2003,
Yayasan Bung Karno membuka stan di Arena Pekan Raya Jakarta.[8] Di stan
tersebut ditampilkan video pidato Soekarno berjudul "Indonesia
Menggugat" yang disampaikan di Gedung Landraad tahun 1930 serta
foto-foto semasa Soekarno menjadi presiden.[8] Selain memperlihatkan
video dan foto, berbagai cenderamata Soekarno dijual di stan
tersebut.[8] Di antaranya adalah kaus, jam emas, koin emas, CD berisi
pidato Soekarno, serta kartu pos Soekarno.[8]
Seseorang yang bernama Soenuso Goroyo Sukarno mengaku memiliki harta
benda warisan Soekarno.[8] Soenuso mengaku merupakan mantan sersan dari
Batalyon Artileri Pertahanan Udara Sedang.[8] Ia pernah menunjukkan
benda-benda yang dianggapnya sebagai warisan Soekarno itu kepada
sejumlah wartawan di rumahnya di Cileungsi, Bogor.[8] Benda-benda
tersebut antara lain sebuah lempengan emas kuning murni 24 karat yang
terdaftar dalam register emas JM London, emas putih dengan cap tapal
kuda JM Mathey London serta plakat logam berwarna kuning dengan tulisan
ejaan lama berupa deposito hibah.[8] Selain itu terdapat pula uang UBCN
(Brasil) dan Yugoslavia serta sertifikat deposito obligasi garansi di
Bank Swiss dan Bank Netherland.[8] Meskipun emas yang ditunjukkan oleh
Soenuso bersertifikat namun belum ada pakar yang memastikan keaslian
dari emas tersebut.[29]
Penghargaan
Semasa hidupnya, Soekarno mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari 26
universitas di dalam dan luar negeri.[30] Perguruan tinggi dalam negeri
yang memberikan gelar kehormatan kepada Soekarno antara lain
Universitas Gajah Mada (19 September 1951), Institut Teknologi Bandung
(13 September 1962), Universitas Indonesia (2 Februari 1963),
Universitas Hasanuddin (25 April 1963), Institut Agama Islam Negeri
Jakarta (2 Desember 1963), Universitas Padjadjaran (23 Desember 1964),
dan Universitas Muhammadiyah (1 Agustus 1965).[30] Sementara itu,
Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University (Jerman),
Lomonosov University (Rusia) dan Al-Azhar University (Mesir) merupakan
beberapa universitas luar negeri yang menganugerahi Soekarno dengan
gelar Doktor Honoris Causa.[30]
Pada bulan April 2005, Soekarno yang sudah meninggal selama 35 tahun
mendapatkan penghargaan dari Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki.[8]
Penghargaan tersebut adalah penghargaan bintang kelas satu The Order of
the Supreme Companions of OR Tambo yang diberikan dalam bentuk medali,
pin, tongkat, dan lencana yang semuanya dilapisi emas.[8] Soekarno
mendapatkan penghargaan tersebut karena dinilai telah mengembangkan
solidaritas internasional demi melawan penindasan oleh negara maju serta
telah menjadi inspirasi bagi rakyat Afrika Selatan dalam melawan
penjajahan dan membebaskan diri dari apartheid.[8] Acara penyerahan
penghargaan tersebut dilaksanakan di Kantor Kepresidenan Union Buildings
di Pretoria dan dihadiri oleh Megawati Soekarnoputri yang mewakili
ayahnya dalam menerima penghargaan.[8]
sumber :http://indonesiadalamtulisan.blogspot.com
No comments:
Post a Comment